ARTIKEL 

Sastra dan Religiositas Muhammad Iqbal

Oleh Muhamad Pauji *

______________________________________________________

“Kehidupan Rasulullah sebagai pengemban risalah, adalah cermin dan teladan bagi semua mazhab dan aliran keagamaan, baik kaum konservatif, modern, hingga kaum sufistik sekalipun.” (Hafis Azhari, penulis novel Pikiran Orang Indonesia)

 

 

———————————–

Foto cropping dari Wikipedia

———————————–

Di masa kanak-kanaknya, Muhammad Iqbal tinggal di Kota Punjab, India, sambil bercengkerama dengan teman-teman sepantarannya yang sama-sama menyukai olahraga dan memelihara unggas, seperti ayam dan burung merpati. Ketika beranjak dewasa, di tahun 1892 ia dinikahkan orang tuanya dengan gadis cantik bernama Karim Bibi, seorang anak dokter Gujarat yang kaya-raya.

Dari Karim Bibi ia dikaruniai tiga orang anak, tapi dua anaknya meninggal saat masih bayi, sedangkan satu lagi, Aftab Iqbal disekolahkan pada jurusan Filsafat sebagaimana studi yang digeluti ayahnya. Iqbal melanjutkan perguruan tinggi di Lahore, salah satu kota di India yang menjadi pusat pendidikan dan kebudayaan. Ketika mahasiswa, ia bergabung dengan perhimpunan sastrawan di suatu lembaga seni yang sering digelar penyair-penyair nasional membacakan sajak-sajaknya.

Ketika lulus sebagai sarjana Filsafat, ia pun menjadi dosen pada matakuliah filsafat, sastra Inggris dan sastra Arab di Government College di Lahore. Sambil mengajar, ia melanjutkan program Magister of Arts (M.A.) juga dalam bidang filsafat. Pada saat itulah, ia bertemu dengan Sir Thomas Arnold, seorang orientalis Inggris yang mengajarkan Filsafat Islam di Collage tersebut. Sir Arnold diakuinya bukan hanya sebagai guru tetapi juga sahabat baiknya dalam berdiskusi dan bertukar pikiran. Di tahun 1905, Iqbal berangkat ke Eropa untuk melanjutkan studinya di Universitas Cambridge, kemudian ia mengikuti kuliah hukum di Lincoln’s Inn, London. Untuk mengambil gelar Philosophy of Doctoral (Ph.D) ia melanjutkan studi di Universitas Heidelberg, Jerman, dengan judul disertasinya, “Perkembangan Metafisika di Persia”.

Selama di Jerman, ia pun mendalami pemikiran Nietzsche serta berbagai karakteristik filsafat Eropa. Pada fase itu, ia berkesimpulan bahwa terjadinya krisis moral di antara bangsa-bangsa Eropa disebabkan oleh sifat individualistis dan egoistis yang berlebihan, serta pandangan nasionalisme yang sempit. Namun di sisi lain, ia juga mengagumi sifat dinamis bangsa-bangsa Eropa yang tidak mengenal puas dan putus asa. Sifat inilah yang kelak membentuk Iqbal menjadi seorang pembaharu yang mengembangkan dinamika pemikiran Islam.

Ketika ia kembali ke Lahore (1908), ia mengajar di Government Collage pada mata kuliah filsafat, sambil menjabat Dekan Fakultas Kajian-kajian Ketimuran dan Ketua Jurusan Kajian Filosofis. Sambil mengajar di kampus, Iqbal terus menggeluti hobinya dalam menulis karya-karya sastra, baik dalam bentuk prosa maupun puisi. Karya-karyanya kemudian membangkitkan gelora dan semangat keagamaan, hingga mampu menyaingi dominasi karya-karya Eropa, dengan menghidupkan seni yang mengandung spirit kebangkitan Islam. Sebagai akademisi, Iqbal pun sering diundang untuk membacakan puisi maupun karya-karya prosanya bersama para penyair dan sastrawan besar di Lahore, India.

Melalui karya sastranya, Iqbal dikenal piawai dalam memompa semangat juang dan seruan terhadap kebebasan dan penentangan atas segala kesewenangan dan ketidakadilan. Sajak-sajaknya mengandung dorongan untuk menghadapi kehidupan dengan penuh harapan, keteguhan serta perjuangan yang tak kenal menyerah. Pada awal 1929, Iqbal melakukan perjalanan ke India selatan dan memberikan ceramah di Hyderabad, Madras dan Aligarh.

Kumpulan ceramah yang disampaikannya kemudian disusun dalam satu buku yang berjudul The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Merekonstruksi kembali pemikiran Islam). Dalam buku itu Iqbal mencoba membangun kembali filsafat Islam dengan memperhatikan tradisi filosofis dan perkembangan mutakhir, sehingga spirit Islam dapat dikontekstualkan pada nilai-nilai yang lebih universal.

 

Memasuki dunia politik

 

Untuk pertama kalinya, Iqbal memasuki dunia politik sebagai anggota DPR Punjab pada tahun 1926. Beberapa tahun kemudian, ia ditunjuk sebagai presiden Liga Muslim yang berlangsung di Allahabad dan memprakarsai gagasan untuk mendirikan negara Pakistan. Ia tetap kukuh pada pendiriannya, meski mendapat reaksi keras dari para politisi dan kaum agamawan, baik dari Hindu maupun Islam.

Dalam dua tahun berturut-turut (1931 dan 1932) Iqbal dipercayakan untuk menghadiri perundingan meja bundar di London, Inggris. Dalam kunjungannya itu, ia berkesempatan untuk mendatangi kota Paris, sehingga berjumpa dengan guru dan filosof kenamaan Prancis, Henry Bergson. Setelah itu, ia pun segera menuju Baitul Maqdis (Yerusalem) untuk menghadiri konferensi negara-negara Islam se-dunia.

Dalam konferensi tahunan Liga Muslim di Allahabad (sejak 1930-an) Iqbal tergolong utusan dan seorang muslim pertama yang menyerukan dibaginya India menjadi dua negara. Sehingga, kaum muslimin mempunyai negara sendiri secara otonom. Baginya, hal tersebut adalah bagian dari semangat Pan-Islamisme, dan dengan itu sosok Iqbal layak dijuluki sebagai penggagas awal berdirinya negara Pakistan.

Terkait dengan itu, sang perintis dan pendiri negara Pakistan, Ali Jinnah mengungkapkan alasannya, “Memang, pemikiran Iqbal sangat sesuai dengan pendirian saya, bahwa kita harus cermat dan berhati-hati dalam mewujudkan revolusi Pakistan, sampai akhirnya tujuan yang dicita-citakan kaum muslimin dapat tercapai dengan sebaik-baiknya.”

 

Karakter karya Iqbal

 

Iqbal menuliskan karya esai, prosa dan puisinya dalam berbagai bahasa, di antaranya bahasa Urdu, Persia, Arab dan Inggris. Bukunya yang berjudul “Rekonstruksi Pemikiran Islam” diterbitkan pertama kali di London (1934), perihal pembuktian secara filosofis mengenai pengalaman dan pemikiran Islam, juga mengenai tauhid dan ketuhanan. Iqbal menyelaraskan dengan pemikiran filsafat idealisme Hegel yang sedang digandrungi para pemikir dan filosof Barat, serta mengungkap sisi-sisi perbedaannya.

Adapun karya disertasi doktoralnya, “Perkembangan Metafisika di Persia”, mengandung deskripsi mengenai sejarah pemikiran agama-agama di Persia, sejak Zoroaster hingga Sufisme Mulla Hadi dan Sabwazar yang hidup di abad ke-18 Masehi. Selain itu, ia pun menjabarkan perihal kaum muda yang menggerakkan kemerdekaan negeri Turki atas dominasi kolonialisme Barat.

Sedangkan karya sastra “Asrar al-Khuldi” ditulis dalam bentuk bait-bait puisi berbahasa Persia, yang menjelaskan bagaimana seorang manusia bisa menjalankan lelaku tasawuf hingga meraih predikat Insan Kamil.

Tidak kalah menarik, dalam karyanya, “Rumuz bi Khuldi” melanjutkan peran Insan Kamil yang harus berkorelasi untuk melestarikan kehidupan (khalifah fil ardli) bersama pribadi-pribadi lainnya, demi untuk memenangkan kerajaan Tuhan. Sedangkan “Javid Nama” (1923) menjelaskan tentang petualangan rohani ke berbagai planet, serta mengadakan dialog imajinatif dengan ruh-ruh para sufi, filosof, hingga politikus dan negarawan.

 

Filsafat ketuhanan

 

Ketuhanan merupakan persoalan fundamental yang menjadi titik acuan seseorang dalam bersikap dan bertindak. Di era tahun 1900-an, Iqbal cenderung menganut corak pemikiran yang panteistik. Hal itu terlihat pada

kekagumannya pada konsepsi mistik yang berkembang di wilayah

Persia, lewat tokoh-tokoh tasawuf falsafi seperti Ibnu Arabi.

Baginya, Tuhan meliputi segala keindahan abadi, serta menempatkan diri dalam segala hal. Dia meliputi seisi langit dan bumi, matahari, bulan dan seisi alam semesta ini. Tuhan adalah penggerak yang memunculkan segala kekuatan dari benda-benda, tumbuhan, hewan, bahkan binatang buas, serta kebuasan nafsu angkara murka pada diri manusia. Tak beda jauh dengan fatalisme ala Jabariyah, yang mengklaim segala perbuatan baik dan buruk merupakan kehendak Allah semata.

Memasuki tahun 1908-1920an Iqbal lebih mengacu pada karya-karya Jalaluddin Rumi berikut konsep-konsep ketuhanannya. Bahwa hakikat keindahan adalah sifat Tuhan di samping keesaan-Nya. Pada fase ini, ia menilai bahwa Tuhan merupakan asas rohaniah tertinggi dari segala kehidupan. Tuhan menyatakan diri-Nya bukan dalam dunia yang terindera, tetapi dalam pribadi yang terbatas. Karena itu, usaha mendekatkan diri kepada Tuhan hanya dimungkinkan lewat kehendak individu yang mau mendekatkan diri kepada-Nya.

Selain itu, manusia juga harus menyerap sebanyak mungkin sifat-sifat Tuhan yang tak terbatas. Sampai kemudian, ego yang ada dalam dirinya semakin bertumbuh menjadi super-ego, yang membuat derajat manusia meningkat selaku wakil-wakil Tuhan (derajat kewalian). Hal ini tercermin jelas dalam perjalanan dan sejarah hidup Rasulullah sebagai pengemban risalah, sekaligus rasul dan nabi akhir zaman.

Pada fase ketiga, antara 1920-1938 terdapat fase pengembangan diri dalam konsep ketuhanan Iqbal. Ia seakan menggabungkan fase pertama dan kedua, bahwa Tuhan merupakan hakikat keseluruhan yang bersifat spiritual. Tuhan adalah Ego Yang Mutlak atau Ego Universal. Dia merupakan sumber segala kehidupan dan sumber di mana ego-ego bermula, yang menunjang adanya kehidupan makhluk dan semesta raya ini.

Untuk itu, menurut Iqbal, Islam menegaskan konsep “kepasrahan diri”, bahwa segalanya berasal dari Allah, sampai kemudian kita harus menyerahkan diri kita hanya pada kepemilikan dan kekuasaan Allah semata. (*)

 

*Pegiat organisasi kepemudaan OI (Orang Indonesia), menulis prosa dan esai di berbagai media nasional luring dan daring.

 

Related posts

Leave a Comment

2 × 3 =